EPISTEMOLOGI
1.Latar Belakang
Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu
diperhatikan bagaimana dan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan.
Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk
mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Sebenarnya kita
baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti
pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Kita mungkin terpaksa mengingkari
kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan
bahwa apa yang kita punyai hanya kemungkinan-kemungkinan dan bukannya
kepastian, atau mungkin dapat menenatapkan batas-batas antara bidang-bidang
yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak
memungkinkannya (Luis O. Kattsoff, 2004)
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi
dikenal sebagai sub sistem dari filsafat. Sistem filsafat disamping meliputi
epistemologi, juga ontologi dan aksiologi. Epistemologi adalah teori
pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari
objek yang ingin dipikirkan. Ontologi adalah teori tentang “ada”, yaitu
tentang apa yang dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran. Sedangkan aksiologi
adalah teori tentang nilai yang membahas tentang manfaat, kegunaan maupun
fungsi dari objek yang dipikirkan itu. Oleh karena itu, ketiga sub sistem ini biasanya disebutkan secara
berurutan, mulai dari ontologi, epistemologi, kemudian aksiologi. Dengan
gambaran senderhana dapat dikatakan, ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi),
lalu dicari cara-cara memikirkannnya (epistemologi),
kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan
(aksiologi).
Demikian
juga, setiap jenis pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri yang spesifik
mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi)
dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini
saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi
ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin
membicarakan epistemologi ilmu,
maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Secara detail,
tidak mungkin bahasan epistemologi
terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang
didasarkan model berpikir sistemik, justru ketiganya harus senantiasa
dikaitkan.
Keterkaitan
antara ontologi, epistemologi,
dan aksiologi—seperti juga lazimnya keterkaitan masing-masing sub sistem dalam
suatu sistem--membuktikan betapa sulit untuk menyatakan yang satu lebih pentng
dari yang lain, sebab ketiga-tiganya memiliki fungsi sendiri-sendiri yang
berurutan dalam mekanisme pemikiran. Hal ini akan lebih jelas lagi, jika kita
renungkan bahwa meskipun terdapat objek pemikiran, tetapi jika tidak didapatkan
cara-cara berpikir, maka objek pemikiran itu akan “diam”, sehingga tidak
diperoleh pengetahuan apapun. Begitu juga, seandainya objek pemikran sudah ada,
cara-cara juga adam tetapi tidak diektahui manfaat apa yang bisa dihasilkan
dari sesuatu yang dipikirkan itu, maka hanya akan sia-sia. Jadi, ketiganya
adalah interrelasi dan interdependensi (saling berkaitan dan saling bergantung).
Namun
demikian, ketika kita membicarakan epistemologi
disini, berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara, atau
langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Dari sini setidaknya didapatkan
perbedan yang cukup signifikan bahwa aktivitas berpikir dalam lingkup epistemologi adalah aktivitas yang
paling mampu mengembangkan kreativitas keilmuan dibanding ontologi dan
aksiologi. Oleh karena itu, kita perlu memahami seluk beluk diseputar epistemologi, mulai dari pengertian,
ruang lingkup, objek, tujuan, landasan, metode, hakikat dan pengaruh epistemologi
B. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
Secara
historis, istilah epistemologi
digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk membedakan dua cabang filsafat,
epistemologi dan ontologi.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi
ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah
dipahami. Pengertian
epistemologi ini cukup menjadi
perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda ketika
mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang
berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi
persoalannya.
Substansi
persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep,
meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya,
pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis, guna mengungkap
substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Hal ini berfungsi
mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya, seseorang
tidak akan mampu menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika
dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami
substansi belajar tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya
belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar,
cara mengetasi hambatan belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap
substansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahsan
selanjutnya yang sedang dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung
dalam definisi .
Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan
kepastian pemahaman terhadap substansinya, sehingga memperlancar pembahasan
seluk-beluk yang terkait dengan epistemologi
itu. Ada beberapa pengertian epistemologi
yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa
sebenarnya epistemologi itu.
epistemologi
juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani
episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang
mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya)
pengetahuan. Dalam Epistemologi,
pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan
dalam epistemologi adalah:
1.Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana pengetahuan itu
dapat diperoleh?; 3). Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori (pengetahuan pra
pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) (Tim
Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).
Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan
mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber
pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai
tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia (William
S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa
Asy’arie, epistemologi adalah
cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai
proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip
kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Sedangkan, P.Hardono Hadi
menyatakan, bahwa epistemologi
adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope
pengetahuan, pengandaian-pengendaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban
atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan
epistemologi sebagai cabang
filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan
pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya
sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir
sama. Sedangkan hal yang cukup
membedakan adalah bahwa pengertian yang pertama menyinggung
persoalan kodrat pengetahuan, sedangkan pengertian kedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat
pengetahuan berbeda dengan hakikat pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan sifat
yang asli dari pengetahuan, sedang hakikat pengetahuan berkaitan dengan
ciri-ciri pengetahuan, sehingga menghasilkan pengertian yang sebenarnya. Pembahasan hakikat
pengetahuan ini akhirnya melahirkan dua aliran yang saling berlawanan, yaitu
realisme dan idealisme.
Selanjutnya,
pengertian
epistemologi yang lebih jelas
daripada kedua pengertian tersebut, diungkapkan oleh Dagobert D.Runes. Dia
menyatakan, bahwa epistemologi adalah
cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas
pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang
membahas tentang keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas
ilmu pengetahuan”. Kendati ada sedikit perbedaan dari kedua pengertian
tersebut, tetapi kedua pengertian ini sedikit perbedaan
dari kedua pengertian
tersebut, tetapi kedua pengertian
ini telah menyajikan pemaparan yang relatif lebih mudah dipahami.
C. RUANG LINGKUP EPISTEMOLOGI.
Bertolak
dari pengertian-pengertian
epistemologi tersebut, kiranya
kita perlu memerinci aspek-aspek yang menjadi cakupannya atau ruang lingkupnya.
Sebenarnya masing-masing definisi diatas telah memberi pemahaman tentang ruang
lingkup epistemologi sekaligus,
karena definisi-definisi itu tampaknya didasarkan pada rincian aspek-aspek yang
tercakup dalam lingkup epistemologi
daripada aspek-aspek lainnya, seperti proses maupun tujuan. Akan tetapi, ada
baiknya dikemukakan pernyataan-pernyataan lain yang mencoba menguraikan ruang
lingkup epistemologi, sebab
pernyataan-pernyataan ini akan membantu pemahaman secara makin komprehensif dan
utuh (holistik) mengenai ruang lingkup pemabahasan epistemologi.
M.Arifin
merinci ruang lingkup epistemologi,
meliputi hakekat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci
menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran
pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu
itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu
yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang
benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua
pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu
dan masalah benarnya ilmu.
Jadi
meskipun epistemologi itu
merupakan sub sistem filsafat, tetapi cakupannya luas sekali. Jika kita
memaduakan rincian aspek-aspek epistemologi,
sebagaimana diuraikan tersebut, maka teori pengetahuan itu bisa meliputi,
hakikat, keaslian, sumber, struktur, metode, validias, unsur, macam, tumpuan,
batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat, pertanggungjawaban dan skope pengetahuan.
Bahkan menurut, Sidi Gazalba, taklid kepada pengetahuan atas kewibaan orang
yang memberikannya termasuk epistemologi,
sekalipun ia sebenarnya merupakan doktrin tentang psikologi kepercayaan.
Jelasnya, seluruh permasalahan yang berkaitan dengan pengetahuan adalah menjadi
cakupan epistemologi.
Mengingat epistemologi mencakup aspek yang
begitu luas, sampai Gallagher secara ekstrem menarik kesimpulan, bahwa epistemologi sama luasnya dengan
filsafat. Usaha menyelidiki dan mengungkapkan kenyataan selalu seiring dengan
usaha untuk menentukan apa yang diketahui dibidang tertentu. Filsafat merupakan
refleksi, dan refleksi selalu bersifat kritis, maka tidak mungkin seserorang
memiliki suatu metafisika yang tidak sekaligus merupakan epistemologi dari metafisika, atau
psikologi yang tidak sekaligus epistemologi
dari psikologi, atau bahkan suatu sains yang bukan epistemologi dari sains. Epistemologi
senantiasa “mengawali” dimensi-dimensi lainnya, terutama ketika dimensi-dimensi
itu dicoba untuk digali. Kenyataan ini kembali mempertegas, bahwa antara epistemologi selalu berkaitan dengan
ontologi dan aksiologi, melainkan bisa juga sebaliknya, ontologi dan aksiologi
serta dimensi lainnya, seperti psikologi selalu diiringi oleh epistemologi.
Dalam
pembahasa-pembahsan epistemologi,
ternyata hanya aspek-aspek tertentu yang mendapat perhatian besar dari para
filosof, sehingga mengesankan bahwa seolah-olah wilayah pembahasan epistemologi hanya terbatas pada
aspek-aspek tertentu. Sedangkan aspek-aspek lain yang jumlahnya lebih
banyak cenderung diabaikan. Semestinya harus ada pergeseran pusat perhatian
pembahasan ke arah aspek-aspek yang terabaikan itu, agar dapat menyajikan
pembahasan terhadap aspek-aspek epistemologi
seluruhnya secara proporsional. Lebih dari itu, perubahan kecenderungan
pembahasan tersebut dapat memperkenalkan pengetahuan yang makin luas dan
mendalam tentang cakupan epistemologi.
Kenyataannya, saat ini literatur-literatur filsafat masih
terjadi pemusatan perhatian pada aspek-aspek tertentu saja. Aspek-aspek itu
berkisar pada sumber pengetahuan, dan pembentukan pengetahuan. M. Amin Abdullah
menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi
lebih banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu
pengetahuan secara konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi banyak membicarakan
mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek
lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang
layak.
Kecenderungan sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah
cakupan pembahasan epistemologi
itu hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan, bahkan epistemologi sering hanya diidentikkan
dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi ketika dikaitkan dengan ontologi dan
aksiologi secara sistemik, seserorang cenderung menyederhanakan pemahaman,
sehingga memaknai epistemologi
sebagai metode pemikiran, ontologi sebagai objek pemikiran, sedangkan aksiologi
sebagai hasil pemikiran, sehingga senantiasa berkaitan dengan nilai, baik yang
bercorak positif maupun negatif. Padahal sebenarnya metode pengetahuan itu
hanya salah satu bagian dari cakupan wilayah epistemologi. Bagian-bagian lainnya jauh lebih banyak, sebagaimana
diuraikan di atas.
Namun, penyederhanaan makna epistemologi itu berfungsi memudahkan pemahaman seseorang,
terutama pada tahap pemula untuk mengenali sistematika filsafat, khususnya
bidang epistemologi. Hanya saja,
jika dia ingin mendalami dan menajamkan pemahaman epistemologi, tentunya tidak bisa hanya memegangi makna epistemologi sebatas metode
pengetahuan, akan tetapi epistemologi
dapat menyentuh pembahasan yang amat luas, yaitu komponen-komponen yang terkait
langsung dengan “bangunan” pengetahuan.
D. OBJEK DAN TUJUAN
EPISTEMOLOGI
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang
pemahaman objek disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu
bahkan kabur. Jika diamati
secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama
dengan sasaran, sedang tujuan hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda,
tetapi objek dan tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah
yang mengantarkan tercapainya tujuan. Dengan kata lain, tujuan baru dapat
diperoleh, jika telah melalui objek lebih dulu. Misalnya, seorang polisi
bertujuan membunuh perampok yang melakukan perlawanan, ketika akan ditangkap
dengan menambak kepalanya sebagai sasaran. Jadi, tujuannya adalah pembunuhan,
sedangkan objeknya adalah kepalanya. Oleh karena itu, pembunuhan sebagai tujuan
polisi baru mungkin tercapai setelah melalui tindakan menembak kepala perampok
sebagai sasaran, tetapi terjadinya pembunuhan tidak hanya melalui menembak
kepala perampok, bisa juga dadanya atau perutnya. Ini berarti dalam satu tujuan
bisa dicapai melalui objek yang berbeda-beda atau lebih dari satu.
Sebaliknya, mungkinkan suatu kegiatan hanya memiliki objek
satu tetapi tujuannya banyak. Ternyata ini juga mungkin terjadi bahkan sering
terjadi. Manusia misalnya, sejak lama ia menjadi objek penelitian dan
pengamatan yang memiliki tujuan bermacam-macam, baik untuk membangun psikologi,
sosiologi, pedagogi, ekonomi, antropologi, bilogi, ilmu hukum dan sebagainya,
meskipun secara spesifik tekanan perhatian dalam meneliti dan mengamati itu
berbeda-beda. Dewasa ini, justru kecenderungan ini mulai memperoleh perhatian
yang sangat besar di kalangan para pemikir, perekayasa, dan juga pengusaha.
Artinya, ada upaya bagaimana menjadikan bahan yang sama untuk kepentingan yang
berbeda-beda. Kecenderungan ini justru memiliki efektifitas dan efisiensi yang tinggi
dan bersifat dinamis, mendorong kreativitas seseorang.
Aktivitas berfikir dalam kecenderungan pertama (satu tujuan
dengan objek yang berbeda-beda) lebih mendorong pencarian cara
sebanyak-banyaknya, sedang berpikir dalam kecenderungan kedua (satu objek untuk
tujuan yang berbeda-beda) lebih mendorong pencarian hasil yang
sebanyak-banyaknya. Hal ini merupakan implikasi dari tekanan masing-masing pola
berpikir tersebut. Secara global, baik berpikir dalam kecenderungan pertama
maupun kecenderungan kedua, tetap saja membutuhkan banyak cara untuk mewujudkan
keinginan pemikirnya.
Dalam filsafat terdapat objek material dan objek formal.
Objek material adalah sarwa-yang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat
Tuhan, hakikat alam dan hakikat manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha
mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya) tentang
objek material filsafat (sarwa-yang-ada).
Sebagai sub
sistem filsafat, epistemologi
atau teori pengetahuan yang pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek
tertentu. Objek epistemologi ini
menurut Jujun S.Suriasumatri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha
kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan
inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi
mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap
pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran,
mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran
menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut. Jacques Martain
mengatakan: “Tujuan epistemologi
bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu,
tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu”. Hal
ini menunjukkan, bahwa epistemologi
bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari,
akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki
potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna
strategis dalam dinamika pengetahuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran
seseorang bahwa jangan sampai dia puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan,
tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab
keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara
memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis. Keadaan pertama hanya berorientasi pada hasil,
sedangkan keadaan kedua lebih berorientasi pada proses. Seseorang yang
mengetahui prosesnya, tentu akan dapat mengetahui hasilnya, tetapi seseorang
yang mengetahui hasilnya, acapkali tidak mengetahui prosesnya. Guru dapat
mengajarkan kepada siswanya bahwa dua kali tiga sama dengan enam (2 x 3 = 6)
dan siswa mengetahui, bahkan hafal. Namun, siswa yang cerdas tidak
pernah puas dengan pengetahuan dan hafalan itu. Dia tentu akan mengejar bagaimana prosesnya,
dua kali tiga didapatkan hasil enam. Maka guru yang profesional akan menerangkan
proses tersebut secara rinci dan mendetail, sehingga siswa benar-benar mampu
memahaminya dan mampu mengembangkan perkalian angka-angka lainnya.
Proses
menjadi tahu atau “proses pengetahuan” inilah yang menjadi pembuka terhadap
pengetahuan, pemahaman dan pengembangan-pengembangannya. Proses ini bisa
diibaratkan seperti kunci gudang, meskipun seseorang diberi tahu bahwa di dalam
gudang terdapat bermacam-macam barnag, tetapi dia tetap hanya apriori semata,
karena tidak pernah membuktikan. Dengan membawa kuncinya, maka gudang itu akan
segera dibuka, kemudian diperiksa satu persatu barang-barang yang ada
didalamnya. Dengan demikina, seseorang tidak sekedar mengetahuai sesuatu atas
informasi orang lain, tetapi benar-benar tahu berdasarkan pembuktian melalui
proses itu.
Penguasaan
terhadap proses tersebut berfungsi mengetahui dan memahami pemikiran seseorang
secara komprehensif dan utuh, termasuk juga ide, gagasa, konsep dan teorinya,
sebab tidak ada pemikiran yang terpenggal begitu saja, tanpa ada alasan-alasan
yang mendasarinya. Dalam kehidupan masyarakat tidak jarang terjadi sikap saling
menyalahkan pemikiran seseorang, padahal mereka belum pernah melacak proses
terjadinya pemikiran itu. Timbulnya suatu pemikiran senantiasa sebagai akibat
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi, alasan-alasan yang melatar belakangi,
maupun motif-motif yang mendasarinya. Ketika faktor, alasan dan motif ini belum
dikenali, maka acapkali seseorang tidak akan bisa memahami pemikiran orang
lain. Sebaliknya, jika seseorang terlebih dahulu berupaya mengenali faktor,
alasan dan motif tersebut, maka dia akan mampu mengenali pemikiran orang lain
dengan baik, sehingga dia dapat memakluminya. Faktor, alasan dan motif itu
maupun komponen yang lain sesungguhnya termasuk dalam mata rantai proses sebuah
pemikiran.
E. LANDASAN EPISTEMOLOGI
Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat
penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan
pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang kokoh. Bangunan
pengetahuan bagaikan bangunan rumah, sedangkan landasan bagaikan fundamennya. Kekuatan
bangunan rumah bisa diandalkan berdasarkan kekuatan fundamennya. Demikian juga
dengan epistemologi, akan
dipengaruhi atau tergantung landasannya.
Di dalam
filsafat pengetahuan, semuanya tergantung pada titik tolaknya. Sedangkan
landasan epistemologi ilmu
disebut metode ilmiah; yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun
pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan
pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan
disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut
ilmu yang tercantum dalam metode ilmiah. Dengan demikian, metode ilmiah
merupakan penentu layak tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki
fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan.
Begitu
pentingnya fungsi metode ilmiah dalam sains, sehingga banyak pakar yang sangat
kuat berpegang teguh pada metode dan cenderung kaku dalam menerapkannya,
seakan-akan mereka menganut motto: tak ada sains tanpa metode; akhirnya
berkembang menjadi: sains adalah metode. Sikap ini mencerminkan bahwa mereka
berlebihan dalam menilai begitu tinggi terhadap metode ilmiah, tanpa menyadari
semuanya yang hanya sekedar salah satu sarana dari sains untuk mengukuhkan
objektivitas dalam memahami sesuatu. Sesungguhnya sikap berlebihan itu memang
riil, tetapi terlepas dari sikap tersebut yang seharusnya tidak perlu terjadi,
yang jelas dalam kenyataanya metode ilmiah telah dijadikan pedoman dalam
menyusun, membangun dan mengembangkan pengetahuan ilmu. Disini perlu dibedakan
antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan (ilmu). Pengetahuan adalah
pengalaman atau pengetahuan sehari-hari yang masih berserakan, sedangkan ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan yang telah diatur berdasarkan metode ilmiah,
sehingga timbul sifat-sifat atau ciri-cirinya; sistematis, objektif, logis dan
empiris.
Dengan
istilah lain, Kholil Yasin menyebut pengetahuan tersebut dengan sebutan
pengetahuan biasa (ordinary knowledge), sedangkan ilmu pengetahuan dengan
istilah pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Hal ini sebenarnya hanya
sebutan lain. Disamping istilah pengetahuan dan pengetahuan biasa, juga bisa
disebut pengetahuan sehari-hari, atau pengalaman sehari-hari. Pada
bagian lain, disamping disebut ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah, juga
sering disebut ilmu dan sains. Sebutan-sebutan tersebut hanyalah pengayaan
istilah, sedangkan substansisnya relatif sama, kendatipun ada juga yang
menajamkan perbedaan, misalnya antar sains dengan ilmu melalui pelacakan akar
sejarah dari dua kata tersebut, sumber-sumbernya, batas-batasanya, dan
sebagainya.
Metode
ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu
pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang
bergantung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk
menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena
pengetahuan logis, tetapi tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu
pengetahuan, melaikan termasuk wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah
selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integrative
G. HAKIKAT EPISTEMOLOGI
Pembahasan
tentang hakikat, lagi-lagi terasa sulit, karena ita tidak bisa menangkapnya,
kecuali ciri-cirinya. Apalagi hakikat epistemologi,
tentu lebih sulit lagi. Epistemologi
berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang
pokok, mengidentifikasikan sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya. “Apa
yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah masalah-masalah
sentral epistemologi, tetapi
masalah-masalah ini bukanlah semata-mata masalah-masalah filsafat. Pandangan
yang lebih ekstrim lagi menurut Kelompok Wina, bidang epistemologi bukanlah lapangan filsafat, melainkan termasuk dalam
kajian psikologi. Sebab epistemologi
itu berkenaan dengan pekerjaan pikiran manusia, the workings of human mind.
Tampaknya Kelompok Wina melihat sepintas terhadap cara kerja ilmiah dalam epistemologi yang memang berkaitan
dengan pekerjaan pikiran manusia. Cara pandang demikian akan berimplikasi
secara luas dalam menghilangkan spesifikasi-spesifikasi keilmuan. Tidak ada
satu pun aspek filsafat yang tidak berhubungan dengan pekerjaan pikiran
manusia, karena filsafat mengedepankan upaya pendayagunaan pikiran. Kemudian
jika diingat, bahwa filsafat adalah landasan dalam menumbuhkan disiplin ilmu,
maka seluruh disiplin ilmu selalu berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia,
terutama pada saat proses aplikasi metode deduktif yang penuh penjelasan dari
hasil pemikiran yang dapat diterima akal sehat. Ini berarti tidak ada disiplin
ilmu lain, kecuali psikologi, padahal realitasnya banyak sekali.
Oleh karena itu, epistemologi
lebih berkaitan dengan filsafat, walaupun objeknya tidak merupakan ilmu yang
empirik, justru karena epistemologi
menjadi ilmu dan filsafat sebagai objek penyelidikannya. Dalam epistemologi terdapat upaya-upaya
untuk mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya. Aktivitas-aktivitas ini
ditempuh melalui perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis.
Perbedaaan padangan tentang eksistensi epistemologi ini agaknya bisa
dijadikan pertimbangan untuk membenarkan Stanley M. Honer dan Thomas C.Hunt
yang menilai, epistemologi
keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi. Sejak semula, epistemologi merupakan salah satu
bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit, sebab epistemologi menjangkau
permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika sendiri,
sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan darinya. Selain itu,
pengetahaun merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan
ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan biasanya diandaikan begitu
saja, maka minat untuk membicarakan dasar-dasar pertanggungjawaban terhadap
pengetahuan dirasakan sebagai upaya untuk melebihi takaran minat kita.
Luasnya jangkauan epistemologi
ini menyebabkan objek pembahasannya sangat detail dan pelik. Metodologi misalnya telah digabungan secara
teliti dengan epistemologi dan
logika. Sementara itu, logika itu sendiri patut dipertanyakan, apakah logika
itu bagian dari epistemologi,
diluar epistemologi sama sekali,
atau sekedar memiliki persentuhan yang erat dengan epistemologi. Ada yang menyatakan, bahwa posisi logika berada
diluar ontologi, epistemologi
dan aksiologi. Di samping itu, epistemologi
tersebut sebenarnya tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa lepas dari ontologi
dan aksiologi. Menurut, Jujun S. Suriasumatri, bahwa persoalan utama yang
dihadapi oleh tiap epistemologi
pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar
dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Dalam
pemahaman yang sederhana epistemologi
memiliki interrelasi (saling berhubungan dengan komponen lain, ontologi dan
aksiologi).
Selanjutnya,
epistemologi atau teori mengenai
ilmu pengetahuan itu adalah inti sentral setiap pandangan dunia. Ia merupakan
parameter yang bisa memetakan, apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin
menurut bidang-bidangnya; apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui; apa
yang mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah diketahui; dan apa yang
sama sekali tidak mungkin diketahui. Epistemologi
dengan demikian bisa dijadikan sebagai penyaring atau filter terhadap
objek-objek pengetahuan. Tidak semua objek mesti dijelajahi oleh pengetahuan
manusia. Ada objek-objek tertentu yang manfaatnya kecil dan madaratnya lebih
besar, sehingga tidak perlu diketahui, meskipun memungkinkan untuk diketahui.
Ada juga objek yang benar-benar merupakan misteri, sehingga tidak mungkin bisa
diketahui.
Epistemologi ini
juga bisa menentukan cara dan arah berpikir manusia. Seseorang yang senantiasa
condong menjelaskan sesuatu dengan bertolak dari teori yang bersifat umum
menuju detail-detailnya, berarti dia menggunakan pendekatan deduktif.
Sebaliknya, ada yang cenderung bertolak dari gejala-gejala yang sama, baruk
ditarik kesimpulan secara umum, berarti dia menggunakan pendekatan induktif.
Adakalanya seseorang selalu mengarahkan pemikirannya ke masa depan yang masih
jauh, ada yang hanya berpikir berdasarkan pertimbangan jangka pendek sekarang
dan ada pula seseorang yang berpikir dengan kencenderungan melihat ke belakang,
yaitu masa lampau yang telah dilalui. Pola-pola berpikir ini akan berimplikasi
terhadap corak sikap seseorang. Kita terkadang menemukan seseorang beraktivitas
dengan serba strategis, sebab jangkauan berpikirnya adalah masa depan. Tetapi
terkadang kita jumpai seseorang dalam melakukan sesuatu sesungguhnya sia-sia,
karena jangkauan berpikirnya yang amat pendek, jika dilihat dari kepentingan
jangka panjang, maka tindakannya itu justru merugikan.
Pada bagian
lain dikatakan, bahwa epistemologi
keilmuan pada hakikatnya merupakan gabungan antara berpikir secara rasional dan
berpikir secara empiris. Kedua cara berpikir tersebut digabungan dalam
mempelajari gejala alam untuk menemukan kebenaran, sebab secara epistemologi ilmu memanfaatkan dua
kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera. Oleh sebab
itu, epistemologi adalah usaha
untuk menafsir dan membuktikan keyakinan bahwa kita mengetahuan kenyataan yang
lain dari diri sendiri. Usaha menafsirkan adalah aplikasi berpikir rasional,
sedangkan usaha untuk membuktikan adalah aplikasi berpikir empiris. Hal ini
juga bisa dikatakan, bahwa usaha menafsirkan berkaitan dengan deduksi,
sedangkan usah membuktikan berkaitan dengan induksi. Gabungan kedua macaram
cara berpikir tersebut disebut metode ilmiah.
Jika metode
ilmiah sebagai hakikat epistemologi,
maka menimbulkan pemahaman, bahwa di satu sisi terjadi kerancuan antara hakikat
dan landasan dari epistemologi
yang sama-sama berupa metode ilmiah (gabungan rasionalisme dengan empirisme,
atau deduktif dengan induktif), dan di sisi lain berarti hakikat epistemologi itu bertumpu pada
landasannya, karena lebih mencerminkan esensi dari epistemologi. Dua macam pemahaman ini merupakan sinyalemen bahwa epistemologi itu memang rumit sekali,
sehingga selalu membutuhkan kajian-kajian yang dilakukan secara
berkesinambungan dan serius.
H. PENGARUH EPISTEMOLOGI
Bagi Karl R.
Popper, epistemologi adalah
teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas
menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam
membentuk dirinya. Tetapi, ilmu pengetahuan harus ditangkap dalam
pertumbuhannya, sebab ilmu pengetahuan yang berhenti, akan kehilangan
kekhasannya. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidka jarang
temuan ilmu pengetahuan yang lebih dulu ditentang atau disempurnakan oleh
temuan ilmu pengetahuan yang kemudian. Perkemabangan ilmu pengetahuan dengan
demikian membuktikan, bahwa kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat tentatif.
Selama belum digugurkan oleh temuan lain, maka suatu temuan dianggap benar.
Perbedaan hasil teman dalam masalah yang sama ini disebabkan oleh perbedaan
prosedur yang ditempuh para ilmuwan dalam membentuk ilmu pengetahuan. Melalui
pelaksanaan fungsi dan tugas dalam menganalisis prosedur ilmu pengetahuan
tersebut, maka epistemologi
dapat memberikan pengayaan gambaran proses terbentuknya pengetahuan ilmiah.
Proses ini lebih penting daripada hasil, mengingat bahwa proses itulah
menunjukkan mekanisme kerja ilmiah dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Akhirnya,
epistemologi bisa menentukan
cara kerja ilmiah yang paling efektif dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang
kebenarannya terandalkan.
Epistemologi juga
membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang
ada. Dalam filsafat, banyak konsep dari pemikiran filosof yang kemudian mendapat
serangan yang tajam dari pemikiran filosof lain berdasarkan
pendekatan-pendekatan epistemologi.
Penguasaan epistemologi,
terutama cara-cara memperoleh pengetahuan yang membantu seseorang dalam
melakukan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang diajukan orang lain
maupun oleh dirinya sendiri. Koreksi secara kontinyu terhadap pemikirannya
sendiri ini untuk menyempurnakan argumentasi atau alasan supaya memperoleh
hasil pemikiran yang maksimal. Ini menunjukkan bahwa epistemologi bisa mengarahkan seseorang untuk mengkritik pemikiran
orang lain (kritik eksternal) dan pemikirannya sendiri (kritik internal).
Implikasinya, epistemologi
senantiasa mendorong dinamika berpikir secara korektif dan kritis, sehingga
perkembangan ilmu pengetahuan relatif mudah dicapai, bila para ilmuwan
memperkuat penguasaannya.
Dinamika
pemikiran tersebut mengakibatkan polarisasi pandangan, ide atau gagasan, baik
yang dimiliki seseorang maupun masyarakat. Mohammad Arkoun menyebutkan, bahwa
keragaman seseorang atau masyarakat akan dipengaruhi pula oleh pandangan
epistemologinya serta situasi sosial politik yang melingkupinya. Keberangaman
pandangan seseorang dalam mengamati suatu fenomena akan melahirkan keberagaman
pemikiran. Kendati terhadap satu persoalan, tetapi karena sudut pandang yang
ditempuh seseorang berbeda, pada gilirannya juga menghasilkan pemikiran yang
berbeda. Kondisi demikian sesungguhnya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah
suatu kelaziman, tidak ada yang aneh sama sekali, sehingga perbedaan pemikiran
itu dapat dipahami secara memuaskan dengan melacak akar persoalannya pada
perbedaan sudut pandang, sedangkan perbedaan sudut pandangan itu dapat dilacak
dari epistemologinya
Secara
global epistemologi berpengaruh
terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori
pengetahuannya. Epistemologi mengatur
semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang
memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu
kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu—dipandang dari
keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang menentukan
kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu
negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang
pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa
didukung oleh kemajuan epistemologi.
Epistemologi menjadi modal dasar
dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi
sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya
yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi
jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan
dan pengembangan epistemologi.
Epistemologi senantiasa
mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan menciptakan
sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil
pemikiran-pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang
berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa
yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya. Pada
awalnya seseorang yang berusaha menciptakan sesuatu yang baru, mungki saja
mengalami kegagalan tetapi kegagalan itu dimanfaatkan sebagai bagian dari
proses menuju keberhasilan. Sebab dibalik kegagalan itu ditemukan rahasia
pengetahuan, berupa faktor-faktor penyebabnya. Jadi kronologinya adalah sebagai
berikut: mula-mula seseorang berpikir dan mengadakan perenungan, sehingga
didapatkan percikan-percikan pengetahuan, kemudian disusun secara sistematis
menjadi ilmu pengetahuan (sains). Akhirnya ilmu pengetahuan tersebut
diaplikasikan melalui teknologi, technology is an apllied of science (teknologi
adalah penerapan sains). Pemikiran pada wilayah proses dalam mewujudkan
teknologi itu adalah bagian dari filsafat yang dikenal dengan epistemologi. Berdasarkan pada manfaat
epistemologi dalam mempengaruhi
kemajuan ilmiah maupun peradaban tersebut, maka epistemologi bukan hanya mungkin, melainkan mutlak perlu dikuasai.
DAFTAR
PUSTAKA BUKU
Abbas Hamami M. 1976. Filsafat
(Suatu Pengantar Logika Formal-Filsafat Pengatahuan). Yogyakarta : Yayasan
Pembinaan Fakultas Filsafat UGM.
. 1982. Epistemologi Bagian I
Teori Pengetahuan. Diktat. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
. 1980. Disekitar Masalah Ilmu;
Suatu Problema Filsafat. Surabay: Bina Ilmu.
. Epistimologi Masa Depan dalam
jurnal filsafat. Seri 1, februari 1990.
Anodizing Titanium & Sturdy Wooden Case With a
BalasHapusAnodizing Titanium titanium welder & Sturdy titanium astroneer Wooden Case With a Sturdy titanium sheets Wooden Case With used ford edge titanium a Sturdy Wooden Case with a Sturdy Wooden Case with titanium white wheels a Sturdy Wooden Rating: 5 · 1 review
a015b4zhzbh601 horse dildo,sex chair,penis rings,wholesale sex toys,dildo,cheap sex toys,huge dildos,horse dildo,male sexy toys y218q2buyee744
BalasHapusv477u2xouzx192 dildos,dildos,horse dildo,realistic dildo,wholesale sex toys,Butterfly Vibrator,Rabbit Vibrators,male sex doll,fantasy toys u645r0koizf412
BalasHapusu305t8fluvk738 dildos,Male Masturbators,vibrators,wholesale sex doll,realistic sex dolls,adult sex toys,sex chair,dildos,g-spot dildos w356f4cokur541
BalasHapus