Selasa, 21 Oktober 2014

Open-Ended Problems dalam Matematika

Banyak orang yang berpendapat bahwa matematika itu adalah ‘ilmu’ yang pasti. Masalah-masalah atau persoalan matematika dapat diselesaikan dengan prosedure yang jelas, terurut, dan saklek. Hal itu berbeda dengan ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Dalam ilmu-ilmu sosial, untuk menyelesaikan suatu permasalahan tak ada prosedure pasti yang dapat digunakan.

Benarkah pendapat itu? Benarkah permasalahan matematika dapat diselesaikan dengan prosedure yang pasti?
Terlepas benar tidaknya, sepertinya banyak orang yang setuju dengan pendapat tersebut. Termasuk guru-guru di sekolah mempercayainya. Baik guru-guru dari bidang ilmu-ilmu sosial ataupun para guru matematika sendiri mempercayai akan pendapat tersebut. Percayanya mereka tentu bukan sekadar percaya. Tapi percayanya mereka karena sebab-sebab tertentu.
Sebab yang pertama. Bisa jadi karena pengalaman mereka. Ya, pengalaman semasa mereka menjadi siswa, mahasiswa, dan hingga menjadi guru. Mereka terbiasa dengan pembelajaran matematika yang prosedural, algoritmik, dan saklek. Pengalaman belajar matematika mereka ‘membuktikan’ bahwa soal-soal atau permasalahan matematika itu hanya dapat diselesaikan dengan prosedur yang pasti. Sedangkan permasalahan ilmu-ilmu sosial tidak demikian.
Sebab yang kedua. Bisa jadi karena mereka terpengaruh oleh teori-teori belajar “kuno” yang pernah mereka dapatkan semasa menempuh pendidikan. Pengaruh teori ini begitu membekas dalam diri mereka, apalagi ditunjang dengan pengalaman nyata mereka semasa belajar matematika. Maka sangat wajar bila mereka mempercayai pendapat yang dikemukakan pada paragraf pertama di atas.
(Kalau dibaca-baca, kok tulisan di artikel ini jadinya formal banget ya? Kayak nulis skripsi saja! Ah, biarin! Anggap saja saya sedang bernostalgia menggunakan bahasa Indonesia baku yang baik dan benar sesuai EYD. :mrgreen: )
Sebetulnya, pendapat yang dikemukakan pada paragraf pertama di atas tidak sepenuhnya benar. Ya, matematika tidak sepenuhnya benar bila dikatakan sebagai ilmu yang prosedural, pasti, dan saklek. Kenapa bisa begitu?
***********************************************************************
Sama halnya seperti ilmu-ilmu sosial, permasalahan atau soal-soal dalam matematika pun secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah masalah-masalah matematika tetutup (closed problems). Dan yang kedua adalah masalah-masalah matematika terbuka (open problems).
Yang selama ini muncul di permukaan dan banyak diajarkan di sekolah adalah masalah-masalah matematika yang tertutup (closed problems). Di mana memang dalam menyelesaikan masalah-maslah matematika tertutup ini, prosedure yang digunakannya sudah hampir bisa dikatakan standar alias baku. Akibatnya timbul persepsi yang agak keliru terhadap matematika. Matematika dianggap sebagai pengetahuan yang pasti, prosedural, dan saklek.
Sementara itu, masalah-masalah matematika terbuka (open problems) sendiri hampir tidak tersentuh, hampir tidak pernah muncul dan disajikan dalam proses pembelajaran matematika di sekolah. Akibatnya bila ada permasalahan matematika macam ini, soal atau permasalahan itu dianggap ‘salah soal’ atau soal yang tidak lengkap.
Secara sederhana, open problems sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Yakni open-ended problems dan pure open problems. Untuk open-ended problems sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Yakni: (1) problemsdengan satu jawaban banyak cara penyelesaian; dan (2) problems dengan banyak cara penyelesaian juga banyak jawaban.
Apa bedanya closed problems dan open problems?
Saya tak akan mendefinisikan bedanya! Namun saya hanya akan memberikan sebuah contoh untuk hal ini. Khusus untuk open problems, saya hanya akan memberi contoh yang termasuk open-ended problems.
Contoh closed problems (cocok untuk siswa SD kelas 3).
Seekor sapi yang diniatkan untuk dikurbankan ‘berat’nya 500 kg. Berat sapi ini sama dengan berat 20 orang anak-anak. Berapa rata-rata berat masing-masing anak?
Soal ini termasuk closed problems karena dengan prosedur yang standar, yakni pembagian \frac{500}{20} = 25, kita dengan pasti dapat menentukan rata-rata berat masing-masing anak. Dan ini jelas merupakan soal yang berupa satu cara dan satu jawaban. Makanya soal ini termasuk dalam kelompok closed problems.
Soal barusan, dengan sedikit “sentuhan “, dapat diubah menjadi sebuah soal yang termasuk dalam kelompok open-ended problems sehingga menjadi soal berikut ini.
Seekor sapi yang ‘berat’nya 500 kg akan dikurbankan. Setara dengan berapa orang anak-kah ‘berat’ sapi tersebut?
Soal ini termasuk dalam open-ended problems karena kita tidak secara pasti tahu prosedure untuk menjawab soal ini. Bila dipikir-pikir, soal ini akan mengundang banyak cara dan juga banyak jawaban. Soal semacam ini amat jarang diberikan. Dan kalaupun ada, jaman dulu dianggap sebagai soal yang tidak lengkap (alias dianggap sebagai “salah soal”).
Padahal, soal semacam ini menuntut kreativitas kita dalam menjawabnya. Soal semacam ini pun menuntut kita untuk berfikir lebih ketimbang hanya mengingat prosedure baku dalam menyelesaikan suatu masalah. Untuk menyelesaikan masalah ini, kita tak dapat langsung begitu saja menjawabnya. Soal ini menuntut kita berpikir lebih cerdas. Menuntut kita untuk melakukan perencanaan sebelum mendapat jawaban. Soal ini menuntut kita agar dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan jawaban. Pun mengantisispasi berbagai cara yang mungkin dilakukan untuk menjawabnya. Pendeknya, soal ini melatih kita untuk menggunakan penalaran dan kreativitas. Ya, tak sekedar hanya menghafalkan prosedur menjawab seperti biasanya.
Menurut Sawada (1997), bila open-ended problems semacam soal tadi diberikan pada para siswa di sekolah, setidaknya ada lima keuntungan yang dapat diharapkan.
1. Para siswa terlibat lebih aktif dalam proses pembelajaran dan mereka dapat mengungkapkan ide-ide mereka secara lebih sering. Para siswa tak hanya pasif menirukan cara yang dicontohkan gurunya.
2. Para siswa mempunyai kesempatan yang lebih dalam menggunakan pengetahuan dan keterampilan matematika mereka secara menyeluruh. Ya, mereka terlibat lebih aktif dalam menggunakan potensi pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimiliki sebelumnya.
3. Setiap siswa dapat menjawab permasalahan dengan caranya sendiri. Ini artinya, tiap kreativitas siswa dapat terungkapkan.
4. Pembelajaran dengan menggunakan open-ended problems semacam ini memberikan pengalaman nyata bagi siswa dalam proses bernalar.
5. Ada banyak pengalaman-pengalaman (berharga) yang akan didapatkan siswa dalam bentuk kepuasan dalam proses penemuan jawaban dan juga mendapat pengakuan dari siswa-siswa lainnya.
Nah, jadi apa kesimpulannya?
Sebagai bentuk latihan berupa open problems, saya serahkan pada para pembaca untuk menyimpulkannya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar